Senin, 21 Desember 2009

KTT - 15 Perubahan Iklim (Conferense of Parties/COP)

Kopenhagen (ANTARA News) - KTT ke-15 Perubahan Iklim (Conferense of Parties/COP) dari Konvensi Kerangka Kerja dari Badan Dunia untuk Perubahan Iklim (United Nations Framework for Climate Change Convention/UNFCCC) resmi dibuka Perdana Menteri Denmark Lars Lokke Rasmussen, Senin lalu (7/12).



Berbagai petinggi negara peserta dan badan-badan dunia untuk perubahan iklim mengungkapkan kesan optimistiknya bahwa konferensi ke-15 ini dapat menghasilkan kesepakatan yang mengikat (legally binding) bagi negara-negara COP terutama komitmen dari negara-negara industri.

Perdana Menteri Denmark, dalam pembukaan konferensi, berharap satu kesepakatan kuat dan ambisius dalam perubahan iklim, terjawab lewat konfirmasi 110 kepala negara yang menghadiri KTT ke-15 ini.

Selama dua minggu penyelenggaraan konferensi, Lars mengatakan, Kopenhagen berubah namanya menjadi "Hopehagen" atau kota harapan dengan dicapainya kesepakatan yang mengikat semua negara mengatasi perubahan iklim.

Sedangkan Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Yvo De Boer mengatakan sukses konferensi hanya bisa diukur oleh hadirnya satu kesepakatan yang implementatif dan segera.

"Saya mendengar pernyataan politik yang kuat (dari negara peserta konferensi) untuk tercapainya sebuah kesepakatan yang memuat tujuan pembatasan emisi secara serius dan beberapa hal tentang pendanaan dan dukungan teknologi kepada negara-negara berkembang," katanya.

Hal ini tercapai jika negara-negara memfokuskan upayanya dalam merumuskan suatu kesepakatan yang solid.

Yvo mengibaratkan hasil kesepakatan KTT Perubahan Iklim sebagai sebagai "kue natal" ideal dari Kopenhagen.

"Saat ini, banyak orang sibuk mempersiapkan kue-kue Natal mereka. Dan saya harap Perdana Menteri Denmark dapat meniup lilin kue natal Kopenhagen ini," katanya.

Sementara itu, Presiden KTT ke-15 UNFCCC, Connie Hedegaard yang akan memimpin konferensi, meminta semua delegasi berbagai negara untuk segera bertindak menangani dampak perubahan iklim.

"Mari kita selesaikan. Saatnya sekarang untuk menyampaikan. Sekarang ini tempatnya untuk berkomitmen. Dan memang masih banyak rintangan, tetapi saatnya kita mengatasinya," kata Connie pada pembukaan KTT ke-15 Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, Senin.

Connie berharap, pada 18 Desember 2009 di Kopenhagen diingat dengan semangat "C" yaitu "Copenhagen", "Construcktiveness", "Cooperation", "Commitment dan "Consensus"


Menjembatani


Delegasi Indonesia sendiri berjanji akan menjembatani semua kepentingan negara industri dan negara berkembang pada KTT ke-15 Perubahan Iklim, agar tercapai kesepakatan yang mengikat.

"Kami, Delegasi Republik Indonesia yakin dapat berperan dalam menjembatani tercapainya benang merah berbagai kepentingan, terutama antara Negara maju dan Negara berkembang," kata Ketua Delegasi RI yang juga Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Rachmat Witoelar di Kopenhagen.

Rachmat mengatakan ada dua permasalahan dalam pencapaian konsensus, yaitu belum sepahamnya semua pihak tentang masalah dimensi waktu dan siapa yang harus memulai terlebih dahulu.

"Para pihak (negara peserta konferensi) terlihat sangat optimis, sebagaimana hasil di Bali (KTT ke-13 Perubahan Iklim 2007), saya yakin di Kopenhagen ini juga akan ada hasil kejutan yang kita harapkan," katanya.

Pada pembukaan konferensi, kelompok-kelompok negara peserta telah menyatakan posisi mereka masing-masing untuk bernegosiasi.

Sudan, mewakili Kelompok 77 Negara Berkembang (G77), dan China, secara tegas menolak kewajiban bagi negara berkembang dalam kesepakatan yang akan dihasilkan di COP-15.

Negara ini menegaskan bahwa hasil kesepakatan harus sesuai dengan mandat Bali Action Plan (BAP) yang menempatkan shared vision sebagai arah aksi kerja sama jangka panjang yang mewakili korelasi upaya stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca dengan memperhatikan semua pilar BAP.

Oleh karena itu, negara maju harus tetap menjamin upaya mitigasi, sedangkan negara berkembang akan berkontribusi dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca melalui upaya pembangunan ekonomi rendah karbon di masing-masing negara.

Pendapat ini didukung Aljazair yang mewakili Kelompok Negara Afrika, Lesotho yang mewakili Kelompok "Least Developed Countries" (LDC), dan Grenada yang mewakili "Alliance of Small Island States (AOSIS). Meksiko mewakili "Environmental Integrity Group" (EIG) juga mendukung selesainya proses yang telah dimandatkan oleh BAP itu.

EIG juga mendukung tercapainya kesepakatan yang mengikat secara hukum dan perlunya Protokol Kyoto untuk dilanjutkan.

Australia yang mewakili "Umbrella Group" (Australia, Kanada, Islandia, Jepang, Selandia Baru, Norwegia, Federasi Rusia, Ukraina and Amerika Serikat) juga mengharapkan KTT ke-15 Perubahan Iklim menghasilkan aksi tegas dengan cara memaksimalkan kredibilitas dan mengakui kajian ilmiah yang menyatakan bahwa kenaikan temperatur bumi tidak melebih 2?C per tahun.

Semua negara dituntut untuk mengambil tindakan sesuai kemampuan masing-masing, serta mendukung tercapainya kesepakatan yang mengikat secara hukum.

Swedia mewakili Kelompok Negara Eropa menyatakan komitmen Negara-negara Eropa untuk mencapai hasil yang ambisius dan mengikat secara hukum yang mecakup semua building blocks dan tindakan segera, serta perlunya melanjutkan Protokol Kyoto.

Negara-negara Eropa berkomitmen untuk memotong emisi gas buang serta mengupayakan pendanaan untuk adaptasi.

Untuk angka pendek, negara-negara Eropa akan menyampaikan komitmen 5-7 miliar Euro, setelah tiga tahun berlakunya kesepakatan yang dihasilkan di KTT ke-15 Perubahan Iklim.


Tiga negara

Menjelang pelaksanaan KTT Kopenhagen, masyarakat global pesimistis bahwa kesepakatan yang mengikat bagi penanganan perubahan iklim tidak bakal tercapai.

Itu karena negara-negara maju alias negara industri yang kukuh pada posisi masing-masing untuk tidak berkomitmen secara sungguh-sungguh dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab perubahan iklim. Terutama komitmen tiga emiter terbesar GRK dunia yaitu Amerika, Cina dan India.

Akan tetapi, tiga negara tersebut akhirnya mengeluarkan pernyataan tentang target penurunan emisi karbon mereka menjelang dimulainya KTT ke-15 Perubahan Iklim.

Amerika Serikat menyatakan berkomitmen emisi gas rumah kaca sebesar 17 persen dari level tahun 2005 pada tahun 2020.

China pun telah mengeluarkan target penurunan emisi 40-45 persen dari level tahun 2005 pada 2020 yang didasarkan pada produk domestik bruto (GDP)-nya.

Sedangkan India, seperti diungkapkan Menteri Lingkungan India Jairam Ramesh Kamis pekan lalu (3/12), menyatakan akan mengurangi 20-25 persen emisi gas rumah kaca pada 2020 dengan acuan tahun 2005, akan tetapi India tidak akan menandatangani kesepakatan apapun yang sifatnya mengikat, dalam KTT Iklim Kopenhagen.

Dengan terkuaknya komitmen tiga negara tersebut, maka akhir KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen akan semakin menarik untuk diikuti. Akankah 110 kepala negara dan pemerintahan berencana datang pada akhir konferensi berniat menyelamatkan masyarakat dunia dari bencana perubahan iklim, atau mereka "keukeuh" menunda berkomitmen? (*)

Rabu, 25 November 2009

10 Gejala Pemanasan Global

Senin, 17 Maret, 2008 oleh Merry Magdalena
Lapisan Es yang Kian Menipis

Lapisan Es yang Kian Menipis

Ada yang bilang pemanasan global itu hanya khayalan para pecinta lingkungan. Ada yang bilang itu sudah takdir. Ilmuwan juga masih pro dan kontra soal itu. Yang pasti, fenomena alam itu bisa dirasakan dalam 10 kejadian berikut ini. Dan yang pasti ini bukan imajinasi belaka, sebab kita sudah mengalaminya.


  • Kebakaran hutan besar-besaran

Bukan hanya di Indonesia, sejumlah hutan di Amerika Serikat juga ikut terbakar ludes. Dalam beberapa dekade ini, kebakaran hutan meluluhlantakan lebih banyak area dalam tempo yang lebih lama juga. Ilmuwan mengaitkan kebakaran yang merajalela ini dengan temperatur yang kian panas dan salju yang meleleh lebih cepat. Musim semi datang lebih awal sehingga salju meleleh lebih awal juga. Area hutan lebih kering dari biasanya dan lebih mudah terbakar.

  • Situs purbakala cepat rusak

Akibat alam yang tak bersahabat, sejumlah kuil, situs bersejarah, candi dan artefak lain lebih cepat rusak dibandingkan beberapa waktu silam. banjir, suhu yang ekstrim dan pasang laut menyebabkan itu semua. Situs bersejarah berusia 600 tahun di Thailand, Sukhotai, sudah rusak akibat banjir besar belum lama ini.

  • Ketinggian gunung berkurang

Tanpa disadari banyak orang, pegunungan Alpen mengalami penyusutan ketinggian. Ini diakibatkan melelehnya es di puncaknya. Selama ratusan tahun, bobot lapisan es telah mendorong permukaan bumi akibat tekanannya. Saat lapisan es meleleh, bobot ini terangkat dan permukaan perlahan terangkat kembali.

  • Satelit bergerak lebih cepat

Emisi karbon dioksida membuat planet lebih cepat panas, bahkan berimbas ke ruang angkasa. Udara di bagian terluat atmosfer sangat tipis, tapi dengan jumah karbondioksida yang bertambah, maka molekul di atmosfer bagian atas menyatu lebih lambat dan cenderung memancarkan energi, dan mendinginkan udara sekitarnya. Makin banyak karbondioksida di atas sana, maka atmosfer menciptakan lebih banyak dorongan, dan satelit bergerak lebih cepat.

  • Hanya yang Terkuat yang Bertahan

Akibat musim yang kian tak menentu, maka hanya mahluk hidup yang kuatlah yang bisa bertahan hidup. Misalnya, tanaman berbunga lebih cepat tahun ini, maka migrasi sejumlah hewan lebih cepat terjadi. Mereka yang bergerak lambat akan kehilangan makanan, sementar mereka yang lebih tangkas, bisa bertahan hidup. Hal serupa berlaku bagi semua mahluk hidup termasuk manusia.

  • Pelelehan Besar-besaran

Bukan hanya temperatur planet yang memicu pelelehan gununges, tapi juga semua lapisan tanah yang selama ini membeku. Pelelehan ini memicu dasar tanah mengkerut tak menentu sehingga menimbulkan lubang-lubang dan merusak struktur seperti jalur kereta api, jalan raya, dan rumah-rumah. Imbas dari ketidakstabilan ini pada dataran tinggi seperti pegunungan bahkan bisa menyebabkan keruntuhan batuan.

  • Keganjilan di Daerah Kutub

Hilangnya 125 danau di Kutub Utara beberapa dekade silam memunculkan ide bahwa pemanasan global terjadi lebih “heboh” di daerah kutub. Riset di sekitar sumber airyang hilang tersebut memperlihatkan kemungkinan mencairnya bagian beku dasar bumi.

  • Mekarnya Tumbuhan di Kutub Utara

Saat pelelehan Kutub Utara memicu problem pada tanaman danhewan di dataran yang lebih rendah, tercipta pula situasi yang sama dengan saatmatahari terbenam pada biota Kutub Utara. Tanaman di situ yang dulu terperangkap dalam es kini tidak lagi dan mulai tumbuh. Ilmuwan menemukan terjadinya peningkatan pembentukan fotosintesis di sejumlah tanah sekitar dibanding dengan tanah di era purba.

  • Habitat Makhluk Hidup Pindah ke Dataran Lebih Tinggi

Sejak awal dekade 1900-an, manusia harus mendaki lebihtinggi demi menemukan tupai, berang-berang atau tikus hutan. Ilmuwan menemukan bahwa hewan-hewan ini telah pindah ke dataran lebih tinggi akibat pemanasan global. Perpindahan habitat ini mengancam habitat beruang kutub juga, sebab es tempat dimana mereka tinggal juga mencair.

  • Peningkatan Kasus Alergi

Sering mengalami serangan bersin-bersin dan gatal di matasaat musim semi, maka salahkanlah pemanasan global. Beberapa dekade terakhir kasus alergi dan asma di kalangan orang Amerika alami peningkatan. Pola hidupdan polusi dianggap pemicunya. Studi para ilmuwan memperlihatkan bahwa tingginya level karbondioksida dan temperatur belakangan inilah pemicunya. Kondisi tersebut juga membuat tanaman mekar lebih awal dan memproduksi lebih banyak serbuk sari.

Diterjemahkan secara bebas dari www.livescience.com

Kredit foto www.earthportal.org

Jumat, 13 November 2009

Perbaikan Lingkungan

50 tahun lagi, pulau x akan hilang, akan terjadi kekurangan bahan pangan, satwa x, y akan punah, tumbuhan, z akan punah, suhu akan naik, udara semakin kotor, dll.
(www.lilblog.multiply.com)

Itu mungkin informasi yang sering kita dengar belakangan ini, seiring dengan semakin naik daunnya isu lingkungan hidup. Tapi pernah gak sih kita bertanya, benar gak akan terjadi seperti itu? Atau kita hanya percaya saja karena apa yang disampaikan berdasarkan hasil penelitian lembaga-lembaga ternama dan diakui.

Sekarang pertanyaannya, siapa yang bisa menjamin akan benar-benar terjadi seperti itu, atau siapa yang bisa menjamin bahwa bumi ini usianya akan sampai pada waktu yang diperkirakan tadi? Jawabannya TIDAK ADA. Karena kita harus yakin bahwa yang menentukan semua itu adalah Tuhan. Bukan para peneliti itu.

Lalu apakah kita diam saja dan pasrah? Tentu tidak. Kerusakan yang ada sekarang adalah karena ulah manusia, karena itu dengan tangan kita sendiri lah harus kita benahi. Tuhan membuat kita merasakan akibat kerusakan yang kita perbuat. Tapi juga memerintahkan kita dengan tangan kita sendiri untuk berubah, berbenah memperbaiki kerusakan tersebut.

Lalu, apakah sikap kita yang mengabaikan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi dimasa depan itu, menandakan bahwa kita adalah manusia yang tidak mempunya pandangan kedepan? Sekali lagi TIDAK. Kita hanya berusaha menggunakan seluruh potensi yang kita miliki untuk hasil terbaik di masa sekarang. Tanpa dibebani ketakutan dan kekhawatiran akan rusaknya bumi beberapa puluh tahun nanti. Rusak tidaknya masa depan bumi ditentukan ditentukan dari apa yang kita lakukan saat ini.

Dengan berusaha melakukan perbaikan selama masih ada kesempatan, tanpa terbebani hal-hal yang belum pasti terjadi, kita justru menjadi manusia yang jauh memandang kedepan. Melebih ruang dan waktu yang bisa diperkirakan manusia. Masa dimana semua perbuatan akan dimintai pertanggung jawabannya. Inilah masa depan yang harus kita yakini kebenarannya. Manusia seharusnya memikirkan balasan terhadap kerusakan lingkungan yang lebih parah yang telah dilakukannya. Menebang ribuan hektar hutan yang berakibat bencana yang merenggut nyawa manusia, mencemari sungai dengan limbah beracun, mengotori udara dengan asap beracun dan kerusakan-kerusakan lainnya.

Dengan kesadaran akan masa depan yang seperti ini, maka seharusnya kita bisa bekerja optimal melakukan perbaikan untuk masa sekarang, selagi masih ada kesempatan, sebelum datang saat dimana penyesalan kita tidak bernilai lagi.

Jadi, jika ada seruan terhadap perbaikan lingkungan, maka bunyinya haruslah:

"Mulai dari sekarang, dan mulai dari diri sendiri"

Kesalahan Manusia (Human Mistake)

BENCANA alam melanda hampir seluruh pelosok negeri ini, terutama banjir. Di
berbagai daerah di Indonesia, bencana banjir menimpa dan menelan banyak korban
jiwa dan materiil. Fenomena ini merupakan isyarat tentang ketidakseimbang-an
ekosistem kita. Ada sebuah problem dalam tatan-an alam kita. Muncul pandangan
bahwa alam semakin tidak ramah. Namun, pertanyaannya adalah ramahkah kita
memperlakukan alam? Sebab, keramahan kita dalam memperlakukan alam lebih lanjut
akan berdampak pada keramahan alam itu sendiri kepada kita. Keduanya
menciptakan hubungan timbal balik.

Oleh karena itu, ketika terjadi berbagai bencana alam, maka pertanyaannya
adalah apakah itu wujud dari ketidakramahan alam, atau akibat ketidakramahan
kita memperlakukan alam? Di sini, bagaimana manusia memahami dan memosisikan
alam merupakan persoalan mendasar. Sebab hal itulah yang menentukan cara
manusia melakukan hubungan dengan seluruh elemen alam.




Jika demikian, maka paradigma manusia tentang alam semesta dan eksistensi
dirinya merupakan titik tolak terbentuknya cara merajut hubungan dengan alam
itu sendiri. Kesadaran adalah aspek yang paling fundamental dalam hal ini.
Bagaimana kesadaran manusia tentang alam semesta, akan menjadi titik tolak
perlakuan manusia itu sendiri terhadap alam semesta. Pola relasi yang di-
bangun manusia dengan alam semesta bertumpu pada ke- sadarannya tentang posisi
alam semesta itu sendiri terhadap dirinya. Karena itu, jika kita mau merubah
ca- ra manusia mem- bangun relasinya dengan alam semesta, yang penting adalah
peru-bahan kesadarannya tentang alam semesta itu sendiri.

Banyak hal yang mempengaruhi terbangunnya paradigma tentang alam ini. Salah
satunya yang paling signifikan adalah aspek teologis. Teologi memberikan andil
pada konstruksi pandangan manusia dalam memahami dan memposisikan alam semesta.
Pola relasi yang dibangun manusia dengan alam, dalam batas tertentu,
dipengaruhi oleh pandangan teologisnya. Sebab secara konsepsional, agama sangat
mengapresiasi eksistensi alam semesta.

Keberadaan alam semesta menjadi salah satu aspek penting dalam konsep
keagamaan. Bahkan konsepsi dasar keagamaan, bertolak dari persoalan tentang
alam semesta. Karenanya, sangat wajar jika agama menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi terbentuknya kesadaran manusia tentang alam semesta. Bagaimana
manusia membangun relasinya dengan alam semesta, biasanya itu dipengaruhi juga
oleh pandangan keagamaannya.

Karena itu, menganalisa fenomena bencana alam dari perspektif teologis, akan
sangat menarik, korelatif dan relevan. Pada titik mana pengaruh tersebut bisa
kita lihat, tulisan ini mencoba untuk mengungkapnya.




Konsepsi agama terkait dengan alam semesta dimulai dari pandangan tentang
terciptanya alam semesta itu sendiri. Ini yang paling fundamental. Dalam hal
ini, dengan mengacu pada hukum kausalitas, agama sampai pada kesimpulan bahwa
keberadaan alam merupakan bukti (keharusan) adanya eksistensi Tuhan selaku
penciptanya. Terciptanya alam semesta merupakan akibat dari sebuah sebab
penciptaan yang dilakukan oleh 'tangan' Tuhan.

Secara konsepsional, inilah titik awal terbentuknya relasi antara alam dan
manusia. Di sini, alam dan manusia diasumsikan sebagai satu kesatuan. Manusia
merupakan salah satu bagian dari alam semesta hasil ciptaan Tuhan. Dalam hal
ini, konsepsi teo- logi menganut pandangan yang sama. Manusia merupakan bagian
dari alam. Tak ada 'jarak' antara alam dan ma- nusia sebagai hasil kreasi
Tuhan.

Perbedaan pandangan teologis mulai muncul dalam memahami eksistensi alam
semesta pasca penciptaan. Muncul beberapa aliran teologi dalam memahami
fenomena ini. Dari perbedaan ini lahir tiga pandangan tentang ke- bebasan
manusia dalam kaitannya dengan kekuasaan Tuhan. Pandangan-pandangan inilah yang
kemudian memberikan pengaruh pada pola relasi manusia dengan Tuhan.


Pandangan Teologis



Pertama, pandangan teologis bahwa setelah menciptakan alam semesta, Tuhan tidak
melakukan intervensi atas alam semesta tersebut. Apa yang terjadi dalam alam
semesta adalah proses alamiah. Ini merupakan cikal lahirnya konsep tentang
kebebasan manusia. Dalam pandangan ini apa pun yang terjadi serta dicapai oleh
manusia merupakan akibat atau hasil dari apa yang telah dilakukan dan
diusahakannya. Dilihat dalam perspektif teologi ini, fenomena bencana alam
dilihat dalam konteks proses alamiah itu sendiri atau akibat dari pola relasi
manusia dengan alam. Bencana alam bisa terjadi karena bagian dari proses
alamiah. Atau juga sebagai akibat dari tindakan manusia itu sendiri. Bencana
alam terjadi akibat dari kesalahan pola relasi manusia dengan alam.

Kedua, pandangan teologis yang meyakini adanya kendali dan intervensi Tuhan
secara total dalam proses berjalannya kehidupan di alam semesta. Dalam hal ini,
kuasa Tuhan sepenuhnya berada di atas usaha manusia. Dalam hal ini, Tuhan
dinisbatkan sebagai entitas yang sejak zaman azali telah menentukan takdir dari
masing-masing manusia. Sehingga usaha apa pun yang dilakukan manusia, berada
dalam lingkar garis batas takdir Tuhan.

Dibaca dari perspektif teologi ini, fenomena bencana alam dipahami sebagai
sebuah ketentuan yang telah ditetapkan Tuhan. Ada pun segala macam penyebab
terjadinya bencana ini dipahami hanya sebagai perantara atau alat Tuhan untuk
mengimplementasikan takdir yang telah ditentukanNya. Jadi, proses sebab akibat,
dalam perspektif ini, harus dilihat dalam konteks takdir Tuhan. Dalam hal ini,
terjadinya bencana 'dirasionalisasi' sebagai bentuk peringatan atau pelajaran
dari Tuhan kepada manusia agar berintrospeksi.

Ketiga, ada sebuah pandangan yang mencoba mencari jalan tengah di antara dua
titik ekstrem tersebut. Dalam pandangan jalan tengah ini, disimpulkan bahwa
dalam beberapa hal, Tuhan tetap melakukan intervensi terhadap alam semesta. Ada
beberapa hal yang telah menjadi ketentuan Tuhan, dan karena itu tidak lagi
dapat dirubah oleh kuasa manusia. Namun ada juga beberapa hal yang ditentukan
sepenuhnya oleh usaha yang dijalankan manusia itu sendiri. Jika ditilik dari
perspektif teologis ini, fenomena bencana alam disimpulkan dalam dua kategori
berbeda: ada bencana alam yang merupakan takdir Tuhan dan ada pula yang
merupakan ulah tangan manusia.

Dari berbagai pandangan teologis tersebut ada beberapa hal yang menjadi
fundamental keterkaitan antara konsep teologi dengan pola relasi manusia dan
alam.

Sebenarnya dalam konsep dasar teologis tentang pembuktian adanya eksistensi
Tuhan, manusia dan alam diasumsikan sebagai satu kesatuan hasil kreasi Tuhan.
Keduanya bukan merupakan bagian yang terpisahkan.

Logikanya, keutuhan alam semesta pada dasarnya merupakan masa depan manusia itu
sendiri. Maka dari itu, pola relasi manusia dengan alam, secara substansial
merupakan relasi manusia dengan dirinya sendiri. Bagaimana manusia memosisikan
serta memperlakukan alam merupakan pemosisian dan perlakuannya terhadap dirinya
sendiri.

Pemahaman manusia akan alam adalah pemahaman tentang dirinya sendiri. Maka
kesalahan dalam memahami alam secara substansial sebenarnya merupakan kesalahan
manusia dalam memahami dirinya sendiri. Sehingga dampak dari kesalahan
pemahaman tersebut akan dirasakan efeknya oleh manusia.

Timbulnya bencana alam sebagai akibat dari tindakan eksploitatif dan destruktif
manusia, pada dasarnya merupakan eksploitasi dan penghancuran manusia terhadap
dirinya sendiri.

Kedua, konsep teologis yang berpandangan bahwa bencana alam bisa terjadi
sebagai akibat dari pola relasi yang dibangun manusia dengan alam, cenderung
mengarahkan pada sikap bertanggung jawab terhadap eksistensi alam. Di sini,
manusia memikul tanggung jawab untuk menjaga alam. Jika manusia lengah dalam
memikul tanggung jawab tersebut maka akibatnya akan ditanggung oleh manusia
sendiri. Sebaliknya, kelestarian alam semesta merupakan jaminan masa depan yang
cerah bagi umat manusia sendiri. Dalam konteks ini, manusia diasumsikan menjadi
sebab dari segala akibat yang dihadapinya terkait dengan fenomena alam semesta,
termasuk bencana alam walaupun ada juga beberapa fenomena alam yang merupakan
gejala alamiah.

Bencana banjir, dalam hal ini, dilihat sebagai akibat dari apa yang dilakukan
manusia, di antaranya adalah penebangan hutan secara liar, mengabaikan tindakan
reboisasi, serta sebab-sebab yang lainnya. Kesemuanya itu bermuara pada
kesalahan manusia dalam membangun relasi dengan alam semesta. Jadi, dalam
konsep teologis ini, manusia benar- benar diserahi tanggung jawab atas masa
depan eksistensi alam semesta.



Ada pun konsep teologis yang menganut pandangan bahwa terjadinya bencana alam
merupakan hasil dari proses intervensi Tuhan, cenderung mengarahkan manusia
pada sikap tidak memikul tanggung jawab terhadap eksistensi alam. Ada
kecenderungan fatalisme dalam memosisikan dan memperlakukan alam, yang
konsekuensinya dilihat dalam kaca mata yang sama, itu dianggap bukan merupakan
dari tanggung jawab manusia. Dalam konsep ini, terjadinya bencana alam tidak
dili- hat dalam keterkaitannya dengan tindakan eksploitasi dan desktruktif
'tangan' manusia.


Jalan Tengah

Sedangkan pandangan teologis 'jalan tengah' secara konsepsional masih memiliki
problem krusial. Pandangan tersebut tidak bisa memberikan batasan yang tegas
tentang kebebasan manusia dan takdir (intervensi) Tuhan. Sejauh mana intervensi
'tangan' Tuhan mempengaruhi usaha yang dilakukan manusia? Dan sejauh mana pula,
usaha yang dilakukan manusia bisa merubah takdir yang telah ditetapkan manusia?
Akibatnya, dalam batas tertentu, konsep teologis jenis ini memang memberikan
rasa tanggung jawab kepada manusia untuk menjaga eksistensi alam. Tapi pada
sisi yang lain, konsep ini juga mengarahkan pada sikap fatalistik (tidak
bertanggung jawab) terhadap eksistensi alam.

Harus diakui bahwa persoalan teologi tidak sesederhana dan sesingkat
sebagaimana dijelaskan di atas. Namun, kita tentu dapat menimbang pandangan
tersebut secara bijaksana ter- kait dengan bagaimana manusia membangun
relasinya dengan alam. Di negara kita, pandangan teologis fatalistik mungkin
masih kuat menancapkan dalam kesadaran keberagamaan banyak orang. Sehingga itu
berdampak pada munculnya sikap yang kurang bertanggung jawab terhadap
eksistensi alam. Terjadinya bencana alam tidak dibaca sebagai akibat dari pola
relasi yang salah yang kita bangun dengan alam semesta. Tapi dilihat sebagai
peringatan, kemurkaan dan pelajaran yang Tuhan turunkan kepada manusia
Indonesia. Kita memang suka melempar tanggung jawab kepada 'langit'.*

Permasalah Air Bersih (Problem of Clean Water)



Sumber : http://jakarta.usembassy.gov/ptp/airbrs1.html

Air merupakan unsur utama bagi hidup kita di planet ini. Kita mampu bertahan hidup tanpa makan dalam beberapa minggu, namun tanpa air kita
akan mati dalam beberapa hari saja. Dalam bidang kehidupan ekonomi modern kita, air juga merupakan hal utama untuk budidaya pertanian, industri, pembangkit tenaga listrik, dan transportasi.

Semua orang berharap bahwa seharusnya air diperlakukan sebagai bahan yang sangat bernilai, dimanfaatkan secara bijak, dan dijaga terhadap cemaran. Namun kenyataannya air selalu dihamburkan, dicemari, dan disia-siakan. Hampir separo penduduk dunia, hampir seluruhnya di negara-negara berkembang, menderita berbagai penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan air, atau oleh air yang tercemar. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, 2 miliar orang kini menyandang risiko menderita penyakit murus yang disebabkan oleh air dan makanan. Penyakit ini merupakan penyebab utama kematian lebih dari 5 juta anak-anak setiap tahun.

Sumber-sumber air semakin dicemari oleh limbah industri yang tidak diolah atau tercemar karena penggunaanya yang melebihi kapasitasnya untuk dapat diperbaharui. Kalau kita tidak mengadakan perubahan radikal dalam cara kita memanfaatkan air, mungkin saja suatu ketika air tidak lagi dapat digunakan tanpa pengolahan khusus yang biayanya melewati jangkauan sumber daya ekonomi bagi kebanyakan negara.

Banyak orang memang memahami masalah-masalah pencemaran dan lingkungan yang biasanya merupakan akibat perindustrian, tetapi tetap saja tidak menyadari implikasi penting yang dapat terjadi. Sebagian besar penduduk bumi berada di negara-negara berkembang; kalau orang-orang ini harus mendapatkan sumber air yang layak, dan kalau mereka menginginkan ekonomi mereka berkembang dan berindustrialisasi, maka masalah-masalah yang kini ada harus disembuhkan. Namun bagaimanapun masalah persediaan air tidak dapat ditangani secara terpisah dari masalah lain. Buangan air yang tak layak dapat mencemari sumber air, dan sering kali tak teratasi. Ketidaksempurnaan dalam layanan pokok sistem saluran hujan yang kurang baik, pembuangan limbah padat yang jelek juga dapat menyebabkan hidup orang sengsara. Oleh karena itu, meskipun makalah ini memusatkan diri terutama pada air dan sanitasi, dalam jangka panjang akan sangat penting memikirkannya dari segi pengintegrasian layanan-layanan lingkungan ke dalam suatu paket pengelolaan air, sanitasi, saluran, dan limbah padat yang komprehensif.

***Ketersediaan dan Kelangkaan Air

Air merupakan elemen yang paling melimpah di atas Bumi, yang meliputi 70% permukaannya dan berjumlah kira-kira 1,4 ribu juta kilometer kubik. Apabila dituang merata di seluruh permukaan bumi akan terbentuk lapisan dengan kedalaman rata-rata 3 kilometer. Namun hanya sebagian kecil saja dari jumlah ini yang benar-benar dimanfaatkan, yaitu kira-kira hanya 0,003%. Sebagian besar air, kira-kira 97%, ada dalam samudera atau laut, dan kadar garamnya terlalu tinggi untuk kebanyakan keperluan. Dari 3% sisanya yang ada, hampir semuanya, kira-kira 87 persennya,tersimpan dalam lapisan kutub atau sangat dalam di bawah tanah.

Dalam satu tahun, rata-rata jumlah tersebut tersisa lebih dari 40.000 kilometer kubik air segar yang dapat diperoleh dari sungai-sungai di dunia. Bandingkan dengan jumlah penyedotan yang kini hanya ada sedikit di atas 3.000 kilometer kubik tiap tahun. Ketersediaan ini (sepadan dengan lebih dari 7.000 meter kubik untuk setiap orang) sepintas kelihatannya cukup untuk menjamin persediaan yang cukup bagi setiap penduduk, tetapi kenyataannya air tersebut seringkali tersedia di tempat-tempat yang tidak tepat. Misalnya, lembah sungai Amazon memiliki sumber yang cukup tetapi mengekspor air dari sini ke tempat-tempat yang memerlukan adalah tidak ekonomis.

Selain itu, angka curah hujan sering sangat kurang dapat dipercaya, sehingga persediaan air yang nyata sering jauh di bawah angka rata-rata yang ditunjukkan. Pada musim penghujan, hujan sangat hebat, namun biasanya hanya terjadi beberapa bulan setiap tahun; bendungan dan tandon air yang mahal diperlukan untuk menyimpan air untuk bulan-bulan musim kering dan untuk menekan kerusakan musibah banjir. Bahkan di kawasan-kawasan "basah" ini angka yang turun-naik dari tahun ke tahun dapat mengurangi persediaan air yang akan terasa secara nyata. Sedangkan di kawasan kering seperti Sahel di Afrika, masa kekeringan yang berkepanjangan dapat berakibat kegagalan panen, kematian ternak dan merajalelanya kesengsaraan dan kelaparan.

Pembagian dan pemanfaatan air selalu merupakan isu yang menyebabkan pertengkaran, dan sering juga emosi. Keributan masalah air bisa terjadi dalam suatu negara, kawasan, ataupun berdampak ke benua luas. Di Afrika, misalnya, lebih dari 57 sungai besar atau lembah danau digunakan bersama oleh dua negara atau lebih; Sungai Nil oleh sembilan, dan Sungai Niger oleh 10 negara. Sedangkan di seluruh dunia, lebih dari 200 sungai, yang meliputi lebih dari separo permukaan bumi, digunakan bersama oleh dua negara atau lebih. Selain itu, banyak lapisan sumber air bawah tanah membentang melintasi batas-batas negara, dan penyedotan oleh suatu negara dapat menyebabkan ketegangan politik dengan negara tetangganya.

Karena air yang dapat diperoleh dan bermutu bagus semakin langka, maka percekcokan dapat semakin memanas. Di seluruh dunia, kira-kira 20 negara, hampir semuanya di kawasan negara berkembang, memiliki sumber air yang dapat diperbarui hanya di bawah 1.000 meter kubik untuk setiap orang, suatu tingkat yang biasanya dianggap kendala yang sangat mengkhawatirkan bagi pembangunan, dan 18 negara lainnya memiliki di bawah 2.000 meter kubik untuk tiap orang.



Lebih parah lagi, penduduk dunia yang kini berjumlah 5,3 miliar mungkin akan meningkat menjadi 8,5 miliar pada tahun 2025. Beberapa ahli memperkirakan bahwa tingkat itu akan menjadi stabil pada angka 16 miliar orang. Apapun angka terakhirnya, yang jelas ialah bahwa tekanan yang sangat berat akan diderita oleh sumber-sumber bumi yang terbatas. Dan laju angka kelahiran yang tertinggi justru terjadi tepat di daerah yang sumber-sumber airnya mengalami tekanan paling berat, yaitu di negara-negara berkembang.

Dalam tahun-tahun belakangan ini, sebagian besar angka pertumbuhan penduduk terpusat pada kawasan perkotaan. Pertumbuhan penduduk secara menyeluruh di negara-negara berkembang kira-kira 2,1 persen setahun, tetapi di kawasan perkotaan lebih dari 3,5%. Daerah kumuh perkotaan atau hunian yang lebih padat di kota yang menyedot pemukim baru termiskin tumbuh dengan laju sekitar 7% setahun.

Hunian pinggiran yang lebih padat sering dibangun secara membahayakan di atas tanah yang tak dapat digunakan untuk apapun, seperti bukit-bukit terjal yang labil atau daerah-daerah rendah yang rawan banjir. Kawasan semacam itu tidak sesuai dengan perencanaan kota yang manapun, dipandang dari segi tata-letak ataupun kebakuan. Karena kawasan semacam itu dianggap sah secara hukum dan bersifat "darurat", pemerintah kota biasanya tidak cepat melengkapinya dengan prasarana seperti jalan, gedung sekolah, klinik kesehatan, pasokan air, dan sanitasi. Namun sebenarnya hunian semacam ini tak pelak akan menjadi pola bagi kota yang harus dilayani dengan prasarana modern; hal ini mempunyai implikasi-implikasi baik untuk pemecahan secara teknis maupun secara lembaga yang akan diperlukan sebagai syarat supaya segala layanan mencapai semua orang dan berkesinambungan.

Di sementara negara, masalah terbesar mengenai persediaan air berkembang bukan hanya dari masalah kelangkaan air dibanding dengan jumlah penduduk, melainkan dari kekeliruan menentukan kebijakan tentang air, dan baru menyadari masalah-masalah tersebut lama setelah akibat yang tak dikehendaki menjadi kenyataan. Jadi meskipun penambahan investasi dalam sektor ini diperlukan, penambahan itu perlu disertai dengan perubahan: Prioritas utama haruslah pada cara pemanfaatan paling bijak terhadap investasi besar yang telah ditanam dalam sektor ini setiap tahun.

Pemanasan Globar (Global Warming)

Sampah (Waste)

Sampah di sekitar kehidupan kita
Sumber: http://mycleanreef.org/sampah-di-sekitar-kehidupan-kita/



Dalam beraktivitas sehari-hari, kita pasti mengeluarkan sampah. Dari pagi hari saat sarapan pagi hingga malam kita akan pergi tidur. Sampah yang kita hasilkan tidak hanya berasal dari makanan serta bungkusnya, tapi juga dari berbagai aktivitas yang kita lakukan.

Ada sampah kertas, botol/gelas plastik, kantong plastik, kaleng, dsb.
Selain itu, seluruh benda yang kita gunakan, baik itu tas, sepatu, baju, kacamata, komputer, bahkan sampai mobil pada akhirnya akan menjadi sampah. Lucunya, kita selalu berpikir bahwa:

1. ketika sampah sudah dibuang ke tempat sampah di luar rumah (atau malah ke jalanan), maka masalah selesai.
2. Setelah sampah dibuang, kita pun bisa kembali menghasilkan sampah.

Walau gaya hidup kita sangat akrab dengan membuang sampah, tapi sedikit sekali diantara kita yang mau berpikir:

1. Apa yang terjadi dengan sampah kita setelah dibuang ke luar rumah? Apakah seluruh sampah tersebut langsung hilang ditelan bumi, setelah kita buang jauh?
2. Apa jadinya jika kita dan seluruh warga kota terus menghasilkan sampah? Apakah lahan di kota akan cukup menampung seluruh sampah kita?

Tak disadari, di berbagai kota besar di Indonesia, sampah menjadi semacam bom waktu yang sewaktu-waktu meledak ke permukaan. Saat banjir menghadang, akibat meluapnya aliran sungai yang tersumbat oleh timbunan sampah; atau saat TPA setempat sudah tidak dapat lagi menampung sampah warga kota, baru deh kita mulai menyadari keberadaan sampah.


www.dml.or.id/dml5/images/stories/sampah.jpg

Lalu, apakah ada yang bisa kita lakukan untuk ikut mengatasi masalah sampah?

1. Tidak membuang sampah ke pantai atau ke laut
2. Membuang sampah di tempatnya atau membawa sampah tersebut pulang, jika tidak menemukan tempat sampah.
3. Tidak membuang sampah ke parit, kali dan sungai, karena semuanya akan berakhir di laut.
4. Membawa botol minuman dan tempat makan sendiri untuk mengurangi sampah dari barang jajanan.
5. Mengurangi penggunaan kantong plastik untuk mengurangi jumlah satwa laut yang mati akibat sampah plastik.
6. Menegur orang lain yang terlihat membuang sampah sembarangan.
7. Memungut sampah yang kita temukan saat berenang di pantai.
8. Mengajak teman/keluarga untuk ikut menjaga pantai dan laut agar tetap bersih.
9. Mendorong pihak pengelola pantai untuk menyediakan banyak tempat sampah di sepanjang pesisir pantai.

Selain itu, hal lain yang bisa kita lakukan untuk mengatasi sampah adalah dengan:

Pilah sampah
Sampah pada umumnya terbagi dalam 2 jenis, yaitu:
A. Sampah organik
Yaitu sampah yang mudah hancur karena terurai oleh mikroba di tanah. Contohnya:
• Sayuran
• Sisa roti
• Buah beserta kulitnya
• Bubuk teh dan kopi
• Kulit telur
• Sampah kebun



B. Sampah Anorganik
Yaitu sampah yang perlu puluhan hingga jutaan tahun agar bisa hancur terurai. Contohnya:
• Kertas
kertas koran, majalah bekas, kertas kemasan, brosur, struk ATM/karcis parkir/karcis tol, kalender bekas, dll.
• Plastik & Styrofoam
kantong plastik, botol air mineral, ember pecah, botol sabun, plastik kemasan, toples plastik, styrofoam kemasan, dll.
• Logam/metal
kaleng minuman, kaleng biskuit, dll.
• Gelas/kaca
botol minyak wangi, botol obat, piring/gelas pecah, toples kaca,



Setelah sampah kita pilah-pilah, lalu selanjutnya bagaimana?

- Untuk sampah organik, bisa dibuat kompos. Untuk tahu cara mengompos, lihat di sini (link ke ’lakukan pengomposan & tips mengompos’)
- Untuk sampah anorganik, kirim sampah di rumah kamu ke sini (link ke ’akan dibuang kemana sampah di rumah kita?’)


Lakukan pengomposan



Sekitar 70% sampah rumah tangga di Denpasar merupakan sampah organik (Bali Fokus). Dengan mengompos sampah dapur, maka kita telah mengurangi sekitar separuh sampah di rumah yang dikirim ke TPA.

Keuntungan mengompos adalah kompos yang sudah jadi bisa digunakan untuk bercocok tanam, menyuburkan tanah di sekitar rumah.

Tips mengompos:

Ada berbagai cara untuk mengompos sampah dapur, diantaranya adalah dengan menggunakan metode Keranjang Takakura. Mau tahu apa itu Keranjang Takakura dan bagaimana cara menggunakannya, silakan download di sini. (download materi dari Kebun Karinda)



Pengolahan Sampah Mandiri
http:// //windhar.wordpress.com




Bagan pengelolaan sampah mandiri, semuanya berawal dari sampah rumah tangga.

Penjelasan gambar

1. Pemilahan dilakukan sejak dari rumah tangga, yaitu dengan 3 kantong tempat sampah. Setiap rumah tangga memisahkan sampah sesuai jenisnya seperti sampah plastik, kertas dan kaca logam. Plastik sachet minuman, snack dan refill bisa didaur ulang menjadi kerajinan seperti tas, dompet, topi, tempat koran, dll.

2. Sedangkan sampah organik rumah tangga dimasukkan dalam gentong/ drum komposter. Nantinya, sampah yang sudah menjadi kompos ini dapat dijual.

3. Setelah sampah pemilahan di rumah penuh kemudian dibawa ke drum/ tong sampah sesuai jenisnya. Kemudian dari drum/ tong sampah tersebut nanti diangkut petugas dibawa ke TPS

4. Di TPS, sampah yang sudah terkumpul disortir, packing dan dijual. Hasil penjualan untuk biaya operasional dan sisanya masuk kas kampung.